Makan Dosa

 

Sore teduh di tepi danau, seorang pemuda makan ikan hasil pancingannya sendiri, dibakar dengan garam, dinikmati dengan nasi dan sambal bawang lengkap dengan lalapannya. Lumayan, di musim kemarau seperti ini, mudah sekali memancing dengan air danau yang surut meski harus terlebih dulu membuat lapak membendung enceng gondok yang terapung-apung hanyut ke tepi danau menggunakan bambu dan kayu lapuk entah dari bekas keramba atau warung remang-remang. Sungguh nikmat meski ia harus makan di antara bau busuk dan sampah plastik berceceran.

Malamnya, hantu ikan gentayangan mendatangi sang pemuda, "Kenapa aku harus mati? Ragaku lebur dalam ragamu, hanya menyisakan belulang yang kau campakkan."

"Maafkan aku wahai ikan, tapi ini bukan salahku, pasti jiwamu tak tenang karena semasa hidup kau tak pernah mengenal Tuhan." jawab pemuda itu tenang.

Hantu ikan terdiam, menatap nanar pemuda itu dengan sepasang mata merah menyala di malam tanpa rembulan.

"Ketahuilah wahai ikan, aku manusia, kau hanya ikan. Aku makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna, lebih mulia dari semesta seisinya, lebih mulia dari para malaikat sekalipun. Baiklah, apa perlu aku mendoakanmu agar jiwamu tenang?" lajut pemuda itu dengan sabar.

Hantu ikan bergeming, sementara sang pemuda khusyuk komat kamit menggumamkan bahasa yang tak dikenali hantu ikan. Hantu ikan putus asa, dia tak mengerti, dia pun berangsur pergi menuju alam para hantu.

Sang pemuda pun lega, hati kecilnya berbangga merasa mulia telah mendoakan ikan; mencerna raganya, mendamaikan jiwanya, menghantarkannya menuju moksa.