Cacatsastra

 

Kita tak pernah bisa menulis apa yang benar-benar kita ingin kita tulis. Kita ingin menulis tentang semesta, tentang gunung dan laut, serta bagaimana para leluhur berpikir tentang betapa kecil manusia dibawah bintang-bintang yang terus mengawasinya. Akan tetapi, pada akhirnya kita menulis tentang anak-anak penguasa menabrak mati anak-anak jelata di jalan, tentang ratapan panjang para janda dan ibu, begitu pedih dan mengerikannya letusan senjata dengan raung sirene di kejauhan.

Puisi dan prosa adalah penyakit.

Kita ingin menuliskan hal-hal mempesona, tentang kilauan peluh sepasang kekasih yang berkejaran di tepi pantai dalam belaian matahari musim panas; bukan tentang drama perceraian penuh sensasi, tentang seorang pemuda tanggung yang melompat dari puncak sutet karena cintanya ditolak, atau tentang seorang istri yang memotong kelamin suaminya setelah bertahun hidup dalam siksa kekerasan rumah tangga. Kita ingin menulis tentang kesempurnaan Tuhan, tetapi berakhir dengan kisah lain tentang masa kecil kesepian, keraguan masa muda, dan penyesalan di hari tua—seakan setiap orang di antara kita mengemban segala derita di dunia.

Seandainya ada uang receh untuk setiap baris prosa dan puisi kita, tentu semua orang akan bahagia.

Kita ingin menuliskan betapa terkutuknya perang, penindasan, dan ketidakadilan. Mari bersama-sama kita lihat dengan lebih seksama—hanya tersisa puing dan debu, pemukiman kumuh dan tumpukan sampah, seorang gadis setengah gila yang telah kehilangan keperawanan serta anak-anak lain yang lapar berjoget riang jug-ijag-ijug kereta malam tanpa tahu apa itu perang dan ketidakadilan.

Lewat tulisan kita ingin semua orang terinspirasi, merasa diberdayakan dalam gerak roda peradaban, percaya akan adanya keindahan dalam diri setiap orang. Semua hanya omong kosong.

Satu kata di satu waktu kita menyerbu—dengan kata kerja, kata benda, kata sifat. Dengan pedang-pedang literalis teracung ke leher para majikan kita, para politisi kita, dosen dan guru kita, para kekasih kita—tajam menantang jutaan deret buku-buku di seluruh perpustakaan, penerbit, dan toko buku di dunia.

Kita minum kopi terlalu banyak, merokok terlalu banyak, menenggak alkohol terlalu banyak, menghabiskan waktu di depan komputer terlalu banyak. Kita merugi, terasing dari keluarga dan teman. Prosa dan puisi adalah penyakit.

Apakah prosa dan puisi terbaik adalah prosa dan puisi tentang hal-hal yang dilarang pemerintah, ditabukan agama, deretan soneta yang membuat orang ketakutan, atau surat cinta yang tak pernah tersampaikan?

Adalah tugas para pecundang, penyair, wartawan, penulis, dan siapa pun yang bisa berbahasa untuk menemukan makna dari semua ini. Kita cukup delusional untuk percaya bahwa prosa dan puisi adalah cara untuk mengingat kebenaran dan keindahan.

Tentang indahnya cara hujan membasuh ceceran darah, sepuluh menit setelah ambulan meninggalkan lokasi kecelakaan. Tentang dengkuran damai para tukang becak menunggu penumpang sementara dikejar teror setoran dan mahalnya biaya sekolah anak mereka. Tentang gelora sekelompok mati muda dalam pesta miras bercampur irex dan autan. Tentang betapa merah merona percikan darah yang muncrat dari kepala koruptor yang dieksekusi mati atau tentang petualangan seorang anak yang harus menempuh belasan kilometer berjalan di rimba agar tak terlambat tiba di sekolah.

Betapa rapuh kita bergantung pada candu omong kosong dan tipu-tipu. Bahasa adalah virus. Prosa dan puisi adalah penyakit, cacat yang membuat kita menjadi indah.